Bahagia Itu (Tak Selalu) Sederhana



Entah siapa yang secara sah pertama kali mengeluarkan tagline "bahagia itu sederhana", rasanya kalimat itu sudah diamini oleh publik. Susunan kata yang seolah menjadi kalimat ajaib tersebut sering menjadi caption foto di social media, terpampang di rangkaian kalimat para blogger, bahkan sudah termaktub ke beberapa buku dan novel.

Dari sudut yang berbeda, bahagia tak selalu sederhana. Lha kok bisa? Bahagia itu sederhana atau tidak selalu sederhana tergantung dari mana cara kita melihat dan juga dari sisi mana kita merasakan.

Coba kembalikan ke pemahaman dasar, apa sih definisi bahagia?

Ternyata sebagian dari kita cenderung mengartikan "bahagia" dari sisi indikatornya. Contohnya menerjemahkan makna bahagia dari indikator kebahagiaan; punya banyak uang, pekerjaan yang pasti, atau jabatan yang tinggi.

Tapi di sisi lain, ada juga yang punya banyak uang, sudah memiliki pekerjaan yang mapan, dan atau telah mencapai jabatan sudah malang melintang, tapi belum bahagia.

Lalu seandainya kita disuruh memilih; punya banyak uang atau bahagia? Bekerja di perusahaan besar atau bahagia? Mencapai jabatan setinggi bintang atau bahagia? Kita akan pilih mana?

Seandainya terpaksa didefinisikan, bisa jadi bahagia adalah perasaan atau suasana terbebas dari rasa takut, gelisah, cemas, dan kesedihan.

Si peternak yang gembira melihat anak kambingnya lahir dengan selamat, itu bahagia, karena terbebas dari kesedihan. Siswa yang pulang sekolah dengan riang, itu bahagia, karena terbebas dari rasa takut terhadap gurunya. Seorang teman yang lulus dari ujian, itu bahagia, karena terbebas dari rasa gelisah dan cemas selama persiapan ujian.

Dari contoh-contoh seperti itu, mungkin bahagia terasa sederhana, walaupun jalan yang ditempuh untuk mencapai kebahagiaan tidak sederhana.

Dalam buku berjudul The Happiness, penunjang kebahagiaan sebagian besar manusia adalah sebagai berikut:

1. Keluarga. Keluarga yang hangat, saling mengasihi, dan harmonis adalah dambaan setiap orang. Hal ini yang dijadikan poin pertama penunjang kebahagiaan oleh sebagian besar orang.

2. Pekerjaan yang pasti. Bagaimanapun mengeluhnya seseorang yang bekerja, mungkin kalau ditakar akan lebih bahagia dari pada perasaan seorang penganggur. Dengan bekerja di tempat yang memberi kepastian dianggap membuat seseorang lebih bahagia.

3. Harta, uang, atau kekayaan yang tersedia menjadi poin berikutnya. Harta atau uang tersebut membuat bahagia karena fungsinya, untuk memuaskan rasa konsumsi manusia. Sebagian besar orang merasa bahagia jika telah berhasil menyelesaikan kegelisahan konsumsinya.

4. Kesehatan. Siapa yang tak ingin punya badan yang sehat? Sehat bukan hanya sebagai dambaan, melainkan sebuah keharusan yang harus diraih karena biaya kesehatan memang mahal, dan kalau badan sakit, kita juga terhalang melakukan hal-hal yang kita senangi, akhirnya tidak bahagia.

5. Komunitas di sekitar. Manusia, terutama orang Indonesia, sangatlah 'sosial'. Jika kita berada di lingkungan orang-orang, teman-teman, atau di dalam komunitas yang kreatif, ramah, dan menyenangkan, bahagianya mereka juga tertular ke kita. Begitupun sebaliknya.

Namun, dari beberapa poin di atas, ternyata masih belum bisa memaksimalkan kebahagiaan seseorang. Dalam buku tersebut dituliskan bahwa ada beberapa hal lainnya yang bisa menopang kebahagiaan manusia, di antaranya:

1. Value (nilai-nilai dalam hidup). Hal-hal yang bersifat nilai-nilai seperti ini tidak bisa didefinisikan, melainkan diyakini.

2. Psychological freedom. Perasaan yang bebas melakukan segala sesuatu yang dicintai, tanpa ketergantungan dengan manusia lainnya. Contohnya, mengapa traveling itu menyenangkan? Salah satunya karena jiwa merasa bebas dari rutinitas, perasaan kita menjadi gembira karena melihat sesuatu yang baru.Tapi berbeda kasusnya kalau rutinitasmu adalah traveling, kerjaanmu traveliiiing terus, lama-lama bosan, dan mendistorsi kebahagiaan (kalau yang ini memang curhatan saya ding :D).

Dalam Islam, 2 hal tersebut sebenarnya sudah dijabarkan di dalam ajaran mendasar,

1. Nilai-nilai hidup dalam Islam menjadi yang utama, yaitu iman. Keimanan yang teguh dan dijalankan dengan baik, bukan hanya membuat kebahagiaan bagi diri sendiri, namun menular ke keluarga dan komunitas. Keimanan ini bisa dijabarkan ke berbagai hal. Di antaranya:

  • Syukur. Bersyukur dengan apa yang sudah diperoleh dan dicapai. Baru punya mobil ya bersyukur, manfaatkan dengan baik. Baru jadi manajer ya bersyukur, maksimalkan jabatan yang diamanahkan untuk memberi manfaat. Syukur ini punya beberapa cabang, seperti qanaah dan zuhud. Kedua cabang ini sebaiknya jangan terlalu mengawang-awang memikirkannya. Qanaah itu rela menerima dan merasa cukup. Kalau saja orang-orang yang sudah punya jabatan menerapkan arti qanaah dengan baik, indikator kebahagiaan mereka bisa lebih dikendalikan, tidak kemaruk dan menerima suap. Dan dampaknya mungkin KPK akan sepi, dan tidak menjadi tontonan harian di media. Sedangkan Zuhud itu meninggalkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan akhirat. Wuidih... berarti tidak boleh pakai barang milik yahudi walaupun mengetik masih pakai MS Word? Atau tidak perlu punya motor, toh motor akan ditinggalkan di dunia, tidak dibawa ke akhirat. Ya tidak sebegitunya. Zuhud itu ada levelnya. Kita jalankan dari level 1 saja dulu, apa itu? Meninggalkan yang haram. Nah, hampir sama kan arahnya? Arah yang mana? Arah indikator kebahagiaan. Bahagia menjadi sederhana karena tidak perlu mengejar jabatan yang aneh-aneh atau kekayaan yang menggunung. Dan juga arah ke korupsi tadi, kalau sifat zuhud minimal level 1 ini diterapkan, mungkin tidak ada ceritanya anak-anak kita disuapi barang-barang haram yang membuat bebal otak dan hati.
  • Sabar. Apa yang kita lakukan saat galau atau bete? Jawaban besar sebagian besar dari kita adalah mengeluh! Kalau sudah bosan mengeluh biasanya naik tingkatan menjadi mengutuk. Padahal sudah disampaikan berkali-kali bahwa ketika dirundung nestapa sebaiknya kita bersabar. Sabar itu komponen yang menghubungkan antara ihtiyar dan tawakal. Jika kita menghadapi kesulitan, sesulit apapun, tapi menerapkan strategi kesabaran, insyaAllah bisa melihat sisi kebahagiaan. Sesungguhnya di balik kesulitan selalu ada kemudahan kan?

2. Psychological freedom dalam Islam itu seperti apa? Perasaan yang bebas dalam Islam diartikan dengan kebebasan dari rasa ketergantungan dengan hal-hal selain Allah. Jadi, jika anda, saya, kita semua pusing atau sedih menghadapi masalah, bukan hanya ingat google, tapi juga yang utama ingatlah Allah. Kebahagiaan itu sumbernya dari mana? Dari hati kan? Nah, bukannya sering ditulis dan disampaikan di berbagai forum bahwa  Ala bidzikrillah tatmainnul qulub, hanya dengan mengingat Allah hati manusia menjadi tenang. Biasakanlah berdzikir, bukan hanya dalam lisan, tapi lewat batin dan lewat tindakan.

Beberapa poin di atas, silahkan diramu dengan komposisi terbaik menurut versi pribadi masing-masing, mana yang paling membuat kita bahagia. Namun yang perlu dipikirkan adalah masa ekonomis bahagia juga bervariasi, ada yang sesaat dan ada yang jangka panjang. Jika pilihan kita untuk menikmati bahagia lebih lama, ya jelas pilihlah yang indikator yang kekal, mendekatlah ke sumber kebahagiaan sejati, yang tidak bergantung pada materi.

Memang kalimat "bahagia" itu sederhana, tapi terkadang bahagia juga tidak selalu sederhana sesederhana kita menuliskannya.

Saya jadi ingat salah satu syair dalam Alfiyah karangan Ibnu Malik yang diterjemahkan dalam lagu Ari Lasso; "Keindahan di mata tak pasti kebahagiaan, karena kebahagiaan sesungguhnya ada di hati".


sumber : Arif L Hakim

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih bagi yang telah membaca blog saya dan terimakasih bagi yang sudah meninggalkan komentar atau pesan dan saran yang bermanfaat.